Home / PARIWARA / Membangun Damai Belum Selesai

Membangun Damai Belum Selesai

Banda Aceh | 08/20/2014

Sebagian dari Aceh saat ini adalah mimpi kita di kemarin hari. Aceh hari ini merupakan Aceh yang sangat ingin kita lihat tempo hari.

Kita tentu harus bersyukur bisa mendapati Aceh tanpa konflik bersenjata lagi. Kita bisa dengan tenang menjemput rezeki, anak-anak dengan riang berangkat sekolah dan pergi mengaji, para lelaki tak perlu takut menetap di kampung sendiri, dan kaum petani tak harus tiba-tiba tiarap di sela menanam padi. Kita sudah berada dalam damai, menjalani hari-hari diantara kondisi yang tanpa perang.

Tetapi, apakah ini bermakna bahwa kita sudah saatnya berhenti memperjuangkan kedamaian? Kadang sebagian kita masih menganggap bahwa apa yang menimpa korban konflik adalah adalah bagian dari takdir yang sudah digariskan. Semua dari Allah, berpulang kepada Allah. Hanya saja, memahami ajaran agama lebih dalam akan membuat kita mengerti, Islam bermakna damai dan keadilan merupakan salah satu fondasi utama yang memberanikan kita memproklamirkannya sebagai agama rahmat bagi semesta.

Islam mengenal peradilan, Islam mengenal hakim,  Islam mengenal bukan hanya Diyat tetapi juga Qishas. Dan jika kita menilik dari sisi etika kehidupan bernegara, maka atas nama penegakan hukum, penyebab kenestapaan korban konflik memang sudah seharusnya diaudit. Terutama berkaitan dengan tindak kekerasan dan penghilangan nyawa yang mereka terima.

Tak ada perdamaian tanpa keadilan. Marthin Luther King, seorang negro yang dianugerahi nobel perdamaian, ketika berbicara perihal perdamaian selalu melekatkannya dengan penegakan keadilan. Damai sesungguhnya bukan hanya sebatas Pax yang dalam bahasa Romawi Kuno berarti absentia belli (ketiadaan perang).

Damai, dalam perspektif Marthin Luther, bukanlah ketiadaan kekerasan semata tetapi juga kehadiran keadilan. Betapa banyak peperangan yang mulanya terjadi karena ketiadaan rasa adil, kemudian perdamaian diupayakan demi menciptakan suasana kondusif yang memungkinkan keadilan dapat diwujudkan pasca perang dikobarkan. Sehingga, semakin erat kaitan antara perdamaian dengan keadilan sebab tak mungkin keadilan bisa ditegakkan kecuali setelah perdamaian diciptakan.

Usaha kita mengeja riwayat perdamaian Aceh tentu tidak akan sempurna tanpa berguru pada sejarah. Hasan Tiro, Inisiator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nan melegenda, dalam The Price of Freedom: The Unfinished Diary menuliskan kalimat yang membuat kita bangga, “saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini. Harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri.”

Kita tentu tidak ingin menilai murah darah yang tumpah serta nyawa yang hilang semasa perang. Semua kenestapaan yang pernah hadir di jiwa rakyat tanah ini bukanlah untuk alasan picisan. Karena itu, pasca perjanjian Helsinki disepakati 9 tahun sebelum hari ini, masihlah penting untuk kembali ke titik dimana perjuangan dimulai pertama kali. Kemudian apa yang ingin dilakukan setelah damai dicapai. Dan satu diantara tujuan itu adalah menegakkan keadilan sebagaimana telah diamanatkan dalam nota kesepahaman Helsinki dan UUPA; Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Kelahiran UUPA adalah kemajuan. Tetapi itu nihil makna  jika amanat di dalamnya tidak terlaksana. Mengisi perdamaian dengan mengaudit penyebab kematian korban konflik memang tidak akan memperbaiki masa lalu. Bahkan bisa jadi berpeluang membuka luka.  Akan tetapi kita harus menegakkan kepala dan berani memutuskan nilai penting apa yang ingin kita titipkan di atas lembar sejarah. Apa defenisi perdamaian yang semestinya dieja oleh generasi Aceh setelah kita.  KKR bukanlah membuka luka, melainkan perban untuk luka.

Rakyat Aceh, termasuk pemerintah Aceh, masih harus berkolaborasi dalam kerja keras. Karena sesungguhnya membangun damai belum selesai. Sebab hakikatnya, sebagaimana  ungkapan “if you want peace, work for justice” jika menginginkan perdamaian, bekerjalah untuk keadilan. Setelah keadilan, muncul kesejahteraan, hadir kemakmuran, dan lahir kemandirian yang dulunya menjadi cita-cita perjuangan. [Riza Rahmi]

Check Also

Mendamaikan Aceh di Mata Dunia

Banda Aceh | 08/22/2014