Home / Informasi Lain / DINUL ISLAM / Meminta Jabatan

Meminta Jabatan

Humas Aceh |31 Agt 2018

Pada suatu kesempatan Abu Dzar al-Ghifari protes kepada Rasulullah SAW karena tidak kunjung dilantik jadi pejabat. 

Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi SAW berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).

Secara prinsip, hadis ini memang tidak melarang umat Islam jadi pemimpin. Selagi didapatkan dengan cara yang benar dan dijalankan secara tepat (persis penggalan akhir hadis di atas), sah-sah saja seseorang berikhtiar untuk mendapat posisi tersebut. Bahkan, kalau merujuk doa yang memohon kepada Allah agar kita menjadi pemimpin bagi orang yang bertakwa (waj’alna lil muttaqiin iimaama), ini mengindikasikan jabatan sebagai pemimpin justru suatu kehormatan.

Sebagai pemimpin, seseorang bisa leluasa menjalankan amar makruf nahi mungkar sekaligus dapat kesempatan berbuat baik lebih banyak kepada publik. Persis hadis Nabi SAW yang mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” Sebab, ia punya kuasa membuat kebijakan dan menggunakan anggaran.

Barangkali inilah alasan Nabi Yusuf meminta jabatan bendahara negara pada penguasa Mesir saat itu (QS Yusuf: 55). Beliau memintanya bukan karena ambisi, tapi semata untuk memberi kemanfaatan kepada orang lain yang lebih banyak.

Sebaliknya, jika seorang tidak memiliki kemampuan dalam memimpin atau hanya bermodal ambisi, jangan memaksa diri untuk mengejarnya. Selain melarang Abu Dzar sebagaimana hadis di atas, dalam hadis lain Nabi juga melarang Adurrahman bin Samurah yang meminta jabatan kepemimpinan. Beliau menyebut, “Jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah). Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)” (HR Bukhari dan Muslim).

Pada akhirnya, di akhirat nanti akan menjadi penyesalan karena beratnya amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Kata Nabi dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. (HR Bukhari).

Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda, “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi (HR Tirmidzi).

Untuk orang seperti ini, tidak ada toleransi menjadi pemimpin. Nabi SAW menyebut, “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya (HR Bukhari dan Muslim).

Barangkali kekhawatiran atas peringatan Nabi di atas menjadi sebab sosok Umar bin Abdul Aziz ketika didapuk menjadi khalifah pada masa dinasti Umayyah, beliau menangis sejadi-jadinya.

Terbayang di pelupuk matanya alangkah beratnya amanah yang diemban, sanggupkah dirinya memikul tanggung jawab yang besar ini? Hal yang paling ia takutkan adalah pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Keyakinan jabatan sebagai amanah inilah yang membuat ia hati-hati dalam mengelola jabatannya. Tak heran bila kemudian ia berhasil membawa kesuksesan bagi negaranya. Bahkan, dalam tempo dua tahun kepemimpinannya ia berhasil membangun tanpa ada lagi fakir miskin di negaranya sehingga uang zakat pun harus diekspor ke negara tetangga.

sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Check Also

Penjabat Gubernur Ajak HUDA Bersinergi dengan Pemerintah Bangun Aceh

BANDA ACEH— Penjabat Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, mengajak para ulama yang terhimpun dalam Himpunan Ulama …