Home / Berita Terbaru / Semangat Bersyukur dan Silaturrahim Menjemput Aceh Hebat

Semangat Bersyukur dan Silaturrahim Menjemput Aceh Hebat

Humas Aceh | 23 Januari 2019

Hari Sabtu 19 Januari 2019 lalu, bertempat di Aula Kantor Kementerian Pendayagunaan Apartur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), saya bertemu kembali dengan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Pertemuan di acara pembukaan Musyawarah Besar (Mubes) V Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Jakarta, mengingatkan saya pada peristiwa pertemuan 15 tahun lalu di Hotel Kuala Tripa, Banda Aceh. Saya sangat bersyukur bisa kembali bertemu dengan bapak Jusuf Kalla, bagaimana tidak karena tempat pertemuan di awal tahun 2004 itu sendiri yaitu Hotel Kuala Tripa, sudah “almarhum.” Saat itu, saya menjadi moderator sosialisasi/Kampanye Pilpres di mana Jusuf Kalla adalah calon Wakil Presiden RI 2004-2009.

Dalil naqli bersyukur bagi saya sangat jelas, merujuk Firman Allah SWT. dalam Surat Ibrahim Ayat 7 menjadi syarat bertambahnya nikmat yg kita dapatkan. Sebaliknya, jika ingkar atau kufur maka akan diberi azab. “La in syakartum la azidannakum wala in kafartum inna adzabi lasyadid. (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih). Janji Allah SWT ini patut dijadikan sikap dasar bagi kita semua untuk menjemput nikmat pembangunan atas pertolongan dan ridha-Nya.

Di samping syukur, sillaturrahim juga penting dijadikan vitalitas dasar bagi kita semua untuk menjemput kemajuan. Untuk diketahui, warisan/haritage/legacy Rasulullah yg paling tinggi value-nya adalah sillaturrahim. Tidak banyak umat, selain umat Islam yang memiliki nuansa dan atmosfer silahturahim dalam tiap saat dan nadi kehidupannya. Nuansa silahturahim adalah value tertinggi yang kita dapat dari Rasulullah SAW. Untuk itu, silaturahmi ini penting untuk kita jaga, rawat dan lanjutkan jaga agar visi Aceh Hebat lebih cepat kita wujudkan bersama-sama.

Dengan semangat syukur dan sillaturrahim maka kerja pembangunan memajukan Aceh secara kolektif dan kolaboratif serta terkonsolidasi akan mudah dikapitalisasi menjadi modal pembangunan. Dari waktu ke waktu, seiring perubahan yang disebabkan oleh revolusi industri 4.0 atau revolusi enterpreneurship, peran pemerintah untuk menjemput kemajuan semakin mengecil dan beralih ke peran swasta. Pemerintah akan lebih fokus pada peran pelayanan guna memudahkan segenap urusan rakyat (private) yang makin ke depan semakin besar perannya.

Aceh, di satu sisi sedang mendapat momentum untuk melakukan percepatan pembangunan. Namun di sisi lain, hari-hari ini Aceh juga sedang berada di lintasan kritis sebuah transisi, antara mau atau tidak, antara mampu atau tidak, guna bergerak cepat untuk bisa sejajar dengan provinsi lain. Pilihan rasionalnya adalah semua stakeholder pembangunan harus saling berkolaborasi dan bersinergi. Semua aktor pembangunan baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan gampong termasuk perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat dan institusi lainnya serta organisasi kepemudaan serta lembaga pemberitaan bahkan lembaga budaya, agama bahkan individu perlu mengambil peran dalam memberi kontribusi untuk memajukan Aceh. Begitu pula anggaran harus dikonsolidasikan sehingga pembiayaan pembangunan Aceh tidak semata bergantung pada dana APBN, APBA dan Dana Desa. Harus pula dicarikan skema-skema pembiayaan alternatif.

Di berbagai kesempatan sillaturrahim, baik itu di lingkungan Pemerintah Aceh, kunjungan kerja ke kabupaten/kota, kesempatan bertemu dengan Pemerintah Pusat, atau bahkan dalam sillaturrahim dengan pihak-pihak lain, saya selalu mengingatkan pentingnya kolaborasi dan konsolidasi. Memang tidak mudah menerapkan pendekatan ini, namun jika pilihan ini tidak kita ambil, maka sepanjang tahun kita tidak menemukan jalan keluar yang nyata guna mengakhiri kondisi yang terus memosisikan Aceh sebagai Daerah termiskin di Sumatera, sekalipun faktanya angka kemiskinan kita terus menurun. Namun, karena tingkat penurunannya kecil, sementara Daerah lain juga menurunkan angka kemiskinannya, maka angka kemiskinan Aceh masih tertinggi di Sumatera.

Sebagai Pelaksana Tugas (Plt) yang ditetapkan oleh Mendagri pada 5 Juli 2018 saya sudah memulai mengakhiri masa kritis transisi ini dengan memperbaharui silahturahmi dengan mitra legislatif yang berbuah disahkan RAPBA 2019 tepat waktu. Dengan begitu, delapan fokus anggaran 2019 bisa lebih cepat diwujudkan. Delapan fokus anggaran itu adalah :

  1. Penurunan angka kemiskinan dan pengangguran;
  2. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan;
  3. Pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui pengembangan kawasan strategis dan penguatan konektivitas;
  4. Peningkatan ketahanan pangan dan energi;
  5. Penguatan Dinul Islam dan peningkatan kualitas pendidikan;
  6. Peningkatan investasi dan nilai tambah hasil pertanian industri kreatif, dan pariwisata;
  7. Optimalisasi sumber daya alam berkelanjutan dan penurunan resiko bencana; dan
  8. Penataan reformasi birokrasi dan penguatan perdamaian.

Meskipun APBA 2019 sudah bisa ditetapkan sebulan sebelum tahun berjalan, yang kita yakini akan kembali berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan pada Maret 2019 dan September 2019 ini, namun titik tolak perubahan lebih nyata justru diprediksi akan lebih maksimal pada tahun anggaran 2020. Mengapa? Secara perencanaan, Aceh 2020 sudah disiapkan lebih cepat Musrenbangnya sejak 2018. Melalui Surat 050/23442 bertanggal 7 September 2018 yang ditujukan kepada SKPA dan Surat 050/23582 bertanggal 8 September 2018 yang ditujukan kepada bupati/walikota saya sudah meminta SKPA dan bupati/walikota untuk mewujudkan proses perencanaan pembangunan 2020 yang tepat waktu dan berkualitas berdasarkan prinsip “evident based planning”.

Sementara itu sejak 2018 dan tahun 2019 ini, pemerintah Aceh terus berkerja mendorong agar yang awalnya macet bisa bergerak dan yang masih lambat akan terus dilakukan akselerasi. Hasilnya, Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA), Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA), Bank Aceh, Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, dan lainnya mulai menggeliat. Sementara KEK Arun Lhokseumawe (KEKAL) juga mengalami akselerasi sehingga dapat segera operasional. Begitu juga ragam peluang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi juga terus ditumbuhkan, seperti rencana KEK Barsela, termasuk mereformasi BPKS agar bisa segera keluar dari masalah internal agar dapat bergerak lebih baik lagi, dan banyak lagi lainnya yang semuanya dipandang dapat segera mewujudkan Aceh Hebat.

Pemerintah Aceh juga terus fokus pada reformasi birokrasi yang menjamin pelayanan lebih baik bagi usaha rakyat yang berkontribusi bagi memajukan Aceh. Kita percaya, seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa peran Pemerintah harus makin memudahkan, bukan sebaliknya justru mempersulit, dan untuk itu sesuatu yang membebani diri sendiri pada birokrasi harus diperbaiki, salah satunya melalui penataan birokrasi dan rasionalisasi tenaga kontrak. Lebih dari itu, kita percaya bahwa kerja produktif Aparatur Sipil Negara ada kaitannya dengan lingkungan kerja yang bersih, rapi dan indah, dan untuk itu saya menjadikannnya sebagai bagian dari evalusi kinerja pimpinan SKPA guna memastikan lingkungan SKPA benar-benar mendukung iklim kerja yang lebih baik.

Guna mendukung terwujudnya kerja plus yang menjamin pelayanan maksimal, maka kita juga menjemput usaha menghadirkan ragam inovasi termasuk dengan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang dalam rekam jejaknya telah berhasil menghadirkan banyak inovasi pelayanan publik. Saya juga mendorong dan menjalin kemitraan strategis dengan universitas dan perguruan tinggi yang ada di Aceh agar menghasilkan kerjasama yang bergerak ke depan (moving forward), sehingga tantangan berbuah peluang, kegagalan berganti dengan keberhasilan. Begitu pula sinergi dengan lembaga swadaya masyarakat dan pemuda serta pers, terus dijalin komunikasi dan kemitraan yang memungkinkan terbangunnya partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan sekaligus sebagai usaha mewujudkan keterbukaan dalam kerja pembangunan.

Semua hal tersebut harus didasarkan kepada semangat bersyukur dan sillaturrahmi yang tanpa henti, sebagai prasyarat perubahan untuk menjemput nikmat dari aktivitas pembangunan.

Demi Aceh Hebat yang akan diwujudkan melalui implementasi 15 program unggulan sampai tahun 2022 maka tidak ada pilihan lain, kecuali dengan kerja ekstra yaitu aparatur yang berkinerja prima dan diikuti dengan inovasi berbasis teknologi sehingga target penurunan angka kemiskinan 1 persen per/tahun bisa dicapai dan tidak mustahil bisa lebih besar lagi.

Rakyat yang telah mengamanahkan kepemimpinan kepada pemerintah Aceh, perlu terus dijaga kepercayaannya. Memang tidak mudah menjaga kepercayaan tersebut, apalagi dalam era keteebukaan informasi yang nyaris tanpa batas. Tapi upaya yang sungguh-sungguh untuk merawat kepercayaan dan meraih dukungan rakyat tidak boleh berhenti. Mudah-mudahan kepercayaan dan dukungan terus menguat, sekalipun masih tetap kritis.
Kebersamaan dan soliditas birokrasi dalam bingkai “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” telah menjadi tekad ASN, dan bahkan semua kita harus bertekad untuk segera keluar dari transisi ini.

Saya jadi terinspirasi dari ajakan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mengatakan untuk mewujudkan kemajuan Aceh maka semangat berperang orang Aceh perlu diubah menjadi semangat berusaha dan bekerja keras. Wapres mengingatkan bagaimana orang Aceh memiliki kemampuan menghadirkan ide-ide cemerlang yang kemudian justru diadopsi secara nasional, seperti Bappeda yang berasal dari Aceh Development Board. Begitu juga kemampuan orang Aceh dalam berdagang, dibuktikan dengan kemampuan pengusaha Aceh menguasai perdagangan di masa lalu melalui “Aceh Kongsi” dan “Aceh Sepakat” yang secara nasional menginspirasi hadirnya Kadin dan wadah usahawan lainnya. Masa kejayaan Aceh di masa lalu itu sepenuhnya milik sebuah generasi yang gigih dan visioner pada waktu itu dimana harusnya menjadi inspirasi pula bagi generasi masa kini untuk mewujudkan masa depan yang hebat.

Kembali ke dasar ulasan, konsepsi konteks keislamannya adalah sejauh mana kita mau dan mampu bersyukur pada setiap nikmat yang ada, apakah mampu menjadi insan yang pandai bersyukur atau justru menjadi insan yang ingkar nikmat atau kufur. Lalu ujian lainnya apakah sillaturrahim, bisa menjadi “pakaian” kebersamaan kita dalam kerjasama membangun Aceh, atau hanya sekedar basa-basi di permukaan saja. Jika pilihannya “menghidupkan” Aceh atau mewujudkan Aceh Hebat maka kerja ekstra yang kolaboratif dan konsolidatif pasti menjadi pilihan, seraya terus merawat semangat bersyukur dan sillaturrahim yang tanpa henti. Semoga

Check Also

Pemerintah Aceh Serahkan SK Tenaga Kontrak

Banda Aceh – Pemerintah Aceh hari ini mulai menyerahkan Surat Keputusan (SK) Tenaga Kontrak tahun …